Senin, 02 Mei 2011

HADIS/SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM MENDAMPINGI al-Qur'an

Sebagaimana disampaikan di awal bahwa hadis/sunnah merupakan sumber hukum Islam. Dan para sahabat Rosulullah SAW telah melakukan ijma' dengan merujuk pada hadis/sunnah dan menempatkannya sebagai satu sumber hukum syariat yang mendampingi al-Qur'an. Diantaranya ialah para khulafa' rasyidin dan orang-orang yang datang setelah mereka, yang menyatakan dengan perkataan dan perbuatan.
Sebagai contoh as-Suyuthi menyatakan dalam kitab Ad-Duur al-Mansur bahwa Abdu bin Humaid Nasa'i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Baihaqi meriwayatkan bahwa Kholid Ibnu Usaid berkata kepada Abdullah Ibnu Umar : "Sesungguhnya kami menemukan shalat al-Hadhar bagi orang tidak bepergian dan shalat al-Khawf (shalat dalam keadaan waspada saat peperangan) di dalam al-Qur'an tetapi kami tidak menemukan shalat as-Safar (bagi orang yang bepergian)? Ibnu Umar berkata : "Wahai anak saudaraku sesungguhnya Allah mengutus Muhammad SAW kepada kita saat ita tidak mengetahui sesuatu. Dan sesungguhnya kita melakukan amalan sebagaimana kita melihat Rosulullah SAW melakukannya dan meng-qashar shalat dalam perjalanan sebagai satu sunnah yang ditetapkan oleh Rosulullah SAW.
Dalam sejarah fiqih Islam penggunaan hadis/sunnah sebagai sumber hukum fiqih selain al-Qur'an ulama fiqih terbagi menjadi dua kelompok. Pertama kelompok madzhab yang menetapkan hadis/sunnah sebagai dasar semua hukum fiqih dalam Islam, dan mengingkari penggunaan qiyas dan ta'lil. Diantara mereka adalah madzhab Dawud dan Ibnu Hazm azh-Zahiri.
Kedua adalah kelompok madzhab ra'yu yang dipelopori oleh madzhab Abu hanifah dan kawan-kawannya. Dimana kelompok ini dikenal lebih pada penggunaan akal dalam menetapkan hukum Islam, sehingga terkesan kelompok ini mengingkari adanya sunnah/hadis. Pada kenyataannya sesungguhnya madzhab Abu Hanifah (imam para ahli ra'yu) tidak pernah menolak sunnah dan para imamnya masih berargumentasi dengannya serta membangun hukum-hukum mereka berdasarkan sunnah. Kebanyakan pemecahan maslah-masalahnya juga didasarkan pada sunnah. Sebagaimana contoh buku yang ditulis oleh al-Marghinan dengan judul al-Hidayah. Yang kemudian diberi penjelasan (syarah) dalam kitab yang berjudul Fath al-Qodir yang ditulis oleh Kamaluddin bin al-Hammam, maka akan kita dapatkan kekayaan yang besar dalam hadits. Bahkan Ibnu Hajar telah mentahrij hadits-hadits yang terdapat kitab al-Hidayah dalam karangan beliau yang berjudul ad-Dirayah lil hadits fi al-Hidayah. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya kelompok ini juga menggunakan sunnah dalam penetapan hukum Islam.
Yusuf Qardhawi mengatakan terdapat anggapan beberapa penulis sekarang bahwa menurut Abu Hanifah hadits yang shahih hanya ada tujuhbelas saja. Hal ini didasarkan kepada pernyataan Ibnu Khaldun dalam buku Muqaddimah. Ibnu Khaldun menyatakan bahwa menurut Abu Hanifah hanya ada sekiat 17 – 50 hadits saja yang shahih. Tetapi kalau kita teliti maka pernyataan itu akan terbantahkan dengan sendiri oleh pernyataan Ibnu Khaldun dalam kitab yang sama tentang ketatnya persyaratan yang dimiliki oleh Abu Hanifah dalam memilih hadits. Abu Hanifah menerapkan syarat shahih sebuah hadits diantaranya hadits tidak boleh bertentangan dengan akal. Hal inilah yang menjadikan hadits shahih menurut Abu Hanifah sangat sedikit dan bukan pengingkaran atau kesengajaan beliau untuk mengingkari sunnah.
Oleh sebab itu pembahasan mengenai hadis/sunnah sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur'an di dalam semua buku ushul fiqih dalam semua madzhab diakui merupakan pembahasan yang luas dan berkepanjangan mencakup aspek kehujjahan, ketetapan, syarat-syarat penerimaan, dalalah, dan lain-lain yang tidak menjadi rahasia bagi orang yang mengkajinya.
Kalaupun terjadi penolakan imam fiqih dalam mengambil sebuah hadits sebagai dasar hukum Islam Yusuf Qardhawi menyebutkan ada tiga alasan pokok yaitu :
a. Mereka tidak yakin bahw Nabi SAW mengatakannya.
b. Ketidak yakinan tentang maksud yang difahami dari sabda Nabi SAW tersebut.
c. Mereka yakin bahwa hukum tersebut sudah dihapus.
3.      Kontroversi kehujjahan hadis/sunah sebagai sumber hukum Islam
Dalam penggunaan hadis/sunah sebagai sumber hukum Islam terdapat kelompok yang menolak hadis sebagai sumber hukum Islam. Mereka menyadarkan pemikiran mereka kepada keragu-raguan (syubhat) yang mereka sangka sebagai dalil. Argumentasi mereka berdasarkan pada dalil berikut ini :
a. Firman Allah SWT
وما من دآبة فى الأ رض ولا طير يطير بجناحيه إلا أمم أمثالكم ما فرطنا فى الكتاب من شيئ ثم إلى ربهم يخشرون
Artinya : "Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah kami alpakan sesuatu dalam al-Kitab (al-Qur'an), dan kepada tuhanlah mereka dihimpun". (QS. al-An'am : 38)
.... ونزلنا عليك الكتاب تبيانا لكل شيئ وهدى ورحمة وبشرى للمسلمين
Artinya : "… Dan kami Turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar genbira bagi orang-orang yang berserah diri". (QS. an-Nahl : 89).
b. Sesungguhnya Allah menjaga al-Qur'an dan tidak menjaga Sunnah. Hal ini mereka dasarkan kepada firman Allah dalam surah Al-Hijr : 9
إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون
Artinya : "Sesungguhnya kamilah yang menurukan al-Qur'an, dan sesungguhnya kami memeliharanya". (QS. Al-Hijr : 9)
Jadi tidak terdapat garansi tentang kebenaran dan kemurnian hadits (sunnah).
c. Terdapatnya perintah Nabi SAW kepada beberapa orang sahabat untuk menulis al-Qur'an yang dikenal dengan para penulis wahyu sedangkan Nabi SAW melarang penulisan hadits dengan menyatakan janganlah kamu menulis sesuatu selain al-Qur'an.
d. Kemungkinan pemalsuan dalam hadits yang begitu besar bahkan terdapat hadits yang dhoif dan tidak dapat dijadikan landasan penetapan hukum dan argumentasi, serta sulit membedakan antara hadits yang shohih dan dhoif
e. Meski ulama hadits telah menyeleksi sunnah dari hadits-hadits maudhui tetapi belum menyeluruh pada sanad hadits dan matannya. Seleksi baru dilakukan pada bagian luarnya saja sehingga banyak hadits yang bertentangan dengan akal pikiran.
f. Sesungguhnya sunnah mencakup apa yang dikatakan oleh Nabi SAW sebagai manusia biasa dan perbuatan duniawinya atau sebagai pemimpin atau qadhi, maka bagaimana mungkin hal ini dijadikan satu ajaran agama secara umum untuk umatnya hingga hari kiamat kelak.
Keraguan terhadap kehujjahan hadis ditanggapi oleh ulama hadits dengan mengutarakan beberapa argumentasi diantaranya :
a. Al-Qur'an menjelaskan kaidah-kaidah sedangkan hadis merinci hukum-hukumnya. Bahwa dalam ayat al-Qur'an surah an-Nahl : 89 bahwa al-Qur'an menjelaskan segala sesuatu, tetapi perlu digaris bawahi bahwa hal tersebut masih umum (mujmal) jadi membutuhkan perincian yang lebih jelas.
b. Pemeliharaan Allah terhadap al-Qur'an mencakup pemeliharaan sunnah. Hal ini didasarkan pada keberadaan sunnah sebagai perincian dari ayat al-Qur'an maka secara otomatis pemeliharaan mencakup pemeliharaan keduanya.
c. Periode penulisan hadis. Memang Nabi SAW melarang penulisan hadis pada masa beliau karena kemampuan baca tulis masyarakat muslim tatkala itu sangat lemah sehingga dikhawatirkan salah. Tetapi Nabi SAW juga telah memberikan perintah kepada beberapa sahabat tertentu untuk menulis hadits dan menyampaikannya dengan hati-hati agar tidak bercampur dengan al-Qur'an, diantara sahabat yang diizinkan menulis hadits ialah Abdullah bin 'Amr.
d. Kontribusi para ulama dalam melayani hadis/sunnah dan pemurniannya. Banyak hal dilakukan oleh ulama sunnah dalam melawan pendusta hadits dengan berbagai argumentasi serta menetapkan berbagai persyaratan dan criteria bagi hadits dari berbagai aspek yang dikemudian hari hal ini dijadikan sebuah ilmu yaitu ilmu mustholhul hadits yang mencakup sembilan puluh disiplin ilmu dalam hadits.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar