Senin, 02 Mei 2011

. FUNGSI HADIS/SUNAH TERHADAP al-Qur'an

As-Sunnah memiliki beberapa fungsi dalam kaitannya dengan al-Qur'an, diantaranya :
1. Memberikan perincian (tafshil) terhadap ayat-ayat yang global (mujmal). Misalnya ayat-ayat yang menunjukkan perintah shalat, zakat, haji di dalam al-Qur'an disebutkan secara global. Dan sunnah menjelaskan secara rinci mulai dari syarat, rukun, waktu pelaksanaan dan lain-lain yang secara rinci dan jelas mengenai tatacara pelaksanaan ibadah shalat, zakat dan haji.
2. Mengkhususkan (takhsis) dari makna umum ('am) yang disebutkan dalam al-Qur'an. Seperti firman Allah an-Nisa' : 11. Ayat tentang waris tersebut bersifat umum untuk semua bapak dan anak, tetapi terdapat pengecualian yakni bagi orang (ahli waris) yang membunuh dan berbeda agama sesuai dengan hadits Nabi SAW. "Seorang muslim tidak boleh mewarisi orang kafir dan orang kafir pun tidak boleh mewarisi harta orang muslim" (HR. Jama'ah). Dan hadits "Pembunuh tidak mewarisi harta orang yang dibunuh sedikit pun" (HR. Nasa'i).
3. Membatasi (men-taqyid-kan) makna yang mutlak dalam ayat-ayat al-Qur'an. Seperti al-Maidah 38
والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما جزاء بما كسبا نكلا من الله والله عزيز حكيم
Artinya : "Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah SWT. Dan Allah Maha Perkasa Lagi Maha Bijaksana". (QS. Al-Maidah : 38).
Ayat di atas dibatasi dengan sabda Nabi SAW : "Potong tangan itu untukseperempat dinar atau lebih". Dengan demikian hukuman potong tangan bagi yang mencuri seperempat dinar atau lebih saja.
4. Menetapkan dan memperkuat hukum yang telah ditentukan oleh al-Qur'an. Misalnya al-Hajj : 30.
... واجتنبوا قول الزور
Artinya : "… Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta". QS. Al-Hajj : 30).
Kemudian Rosulullah SAW menguatkannya dalam sabdanya : "Perhatikan! Aku akan memberitahukan kepadamu sekalian sebesar-besarnya dosa besar! Sahut kami : "Baiklah hai Rasulullah". Beliau meneruskan sabdanya : "1. Musyrik kepada Allah SWT. 2. Menyakiti orang tua". Saat itu Rosulullah sedang bersandar, tiba-tiba duduk seraya bersabda lagi : "Awas berkata (bersaksi) palsu". (HR. Bukhori Muslim)
5. Menetapkan hukum dan aturan yang tidak didapati dalam al-Qur'an. Misalnya di dalam al-Qur'an tidak terdapat larangan untuk memadu seorang perempuan dengan bibinya, larangan terdapat dalam hadits yang berbunyi : "Tidak boleh seseorang memadu seorang perempuan dengan 'ammah (saudari bapak)nya dan seorang perempuan dengan khalah (saudara ibu)nya". (HR. Bukhori dan Muslim).
Selain yang tersebut diatas, fungsi hadis/sunah terhadap al-Qur’an adalah sebagai berikut:
a.       Membuat hukum baru yang tidak terdapat dalam Al-Qur'an. Dalam hal ini hukum-hukum atau aturan itu hanya berasaskan sunnah/hadits semata-mata. Contohnya larangan mengawini seorang wanita yang sepersusuan, karena ia dianggap muhrim senasab, dalam sabdanya:
إن الله حرم من الرضاعة ما حرم من النسب –متفق عليه-
“Sungguh Allah telah mengharamkan mengawini seseorang karena sepersusuan, sebagaimana halnya Allah telah mengharamkannya karena senasab”. (riwayat Bukhari-Muslim), serta hadits tentang kehalalan janin ikan yang ada dalam perut induknya yang disembelih dengan halal, dan seperti juga halalnya bangkai ikan laut.
b.      Mengubah ketetapan hukum dalam Al-Qur'an. Contohnya adalah ayat 180 Surat Al Baqoroh yang menjelaskan tentang kewajiban berwasiat. Kemudian diubah dengan hadits yang berbunyi: لا وصية لوارث. Menurut sebagian ulama ayat ini sudah dinasakh. Ada yang mengatakan bahwa ayat ini dinasakh dengan hadits yang tersebut di atas. Akan tetapi ada pula sebagian ulama yang berpendapat bahwa ayat ini masih tetap “muhkamah”, artinya masih tetap berlaku. Antara lain pendapat seorang mufassir yang terkenal bernama Abu Muslim Al-Asfahany.
Menurut ulama mutaqaddimin bahwa terjadinya naskh ini karena pembuat syariat menurunkan ayat tersebut tidak diberlakukan untuk selama-lamanya. Ketentuan yang terakhir menghapus ketentuan yang terdahulu karena yang terakhir dipandang lebih luas dan lebih cocok dengan nuansanya. Ini menurut ulama yang menganggap adanya fungsi bayan naskh. Kelompok ini adalah golongan Muktazilah, Hanafiyah, dan madzhab Ibn Hazm Al Dhahiri. Hanya saja muktazilah membatasi fungsi naskh ini hanya berlaku untuk hadits–hadits yang mutawatir. Sementara golongan hanafiyah tidak mensyaratkan hadits mutawatir bahkan hadits masyhur yang merupakan hadits ahad pun bias menasakh hukum sebagian ayat Al Qur’an. Bahkan Ibnu Hazm sejalan dengan adanya naskh kitab dengan sunnah meskipun dengan hadits ahad.
Sedangkan yang menolak naskh jenis ini adalah Imam Syafi’i dan sebagian besar pengikutnya, meskipun naskh tersebut dengan hadits yang mutawatir. Kelompok lain yang menolak adalah sebagian besar pengikut madzhab Dzahiriyah dan kelompok Khawarij. Menurut As-Syafi’i sunnah/hadis tidak dapat menaskh Al Qur’an. Hanya saja sunnah/hadis itu menjelaskan adanya naskh dalam Al-Qur’an, sebab naskh itu membutuhkan keterangan tentang dalil mana yang dahulu dan dalil mana yang datang kemudian. Sedangkan penjelasan dalam hal ini adalah dari Nabi sen

3 komentar:

  1. bagus jawabannya tpi kekurangannya gak ada foot not sama penulisnya gak ada,
    kecewa

    BalasHapus
  2. thx gan
    yudikentaki.blogspot.com

    BalasHapus
  3. Sayangnya gk dicantumkan referensi bukunya

    BalasHapus