Senin, 02 Mei 2011

Bagian Iventaris Barang Milik Negara ( BMN )

DASAR HUKUM BARANG MILIK NEGARA ( BMN )
 1.   Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang     Keuangan Negara;
 2.   Undang Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
 3.   Undang Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan;
 4.   Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan;
 5.   Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah;
6.   Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah;
7.   Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2002 Tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
8.   Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemenfaatan, Penghapusan, dan Pemindahtanganan BMN;
9.   Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 97/PMK.06/2007 tentang Penggolongan dan Kodefikasi Barang Milik Negara;
10.Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 120/PMK.06/2007 tentang Penatausahaan Barang Milik Negara;
11.Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 171/PMK.05/2007 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat;
12.Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor : PER-51/PB/2008 tentang Pedoman Penyusunan Laporan Keuangan Kementerian Negara / Lembaga

. FUNGSI HADIS/SUNAH TERHADAP al-Qur'an

As-Sunnah memiliki beberapa fungsi dalam kaitannya dengan al-Qur'an, diantaranya :
1. Memberikan perincian (tafshil) terhadap ayat-ayat yang global (mujmal). Misalnya ayat-ayat yang menunjukkan perintah shalat, zakat, haji di dalam al-Qur'an disebutkan secara global. Dan sunnah menjelaskan secara rinci mulai dari syarat, rukun, waktu pelaksanaan dan lain-lain yang secara rinci dan jelas mengenai tatacara pelaksanaan ibadah shalat, zakat dan haji.
2. Mengkhususkan (takhsis) dari makna umum ('am) yang disebutkan dalam al-Qur'an. Seperti firman Allah an-Nisa' : 11. Ayat tentang waris tersebut bersifat umum untuk semua bapak dan anak, tetapi terdapat pengecualian yakni bagi orang (ahli waris) yang membunuh dan berbeda agama sesuai dengan hadits Nabi SAW. "Seorang muslim tidak boleh mewarisi orang kafir dan orang kafir pun tidak boleh mewarisi harta orang muslim" (HR. Jama'ah). Dan hadits "Pembunuh tidak mewarisi harta orang yang dibunuh sedikit pun" (HR. Nasa'i).
3. Membatasi (men-taqyid-kan) makna yang mutlak dalam ayat-ayat al-Qur'an. Seperti al-Maidah 38
والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما جزاء بما كسبا نكلا من الله والله عزيز حكيم
Artinya : "Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah SWT. Dan Allah Maha Perkasa Lagi Maha Bijaksana". (QS. Al-Maidah : 38).
Ayat di atas dibatasi dengan sabda Nabi SAW : "Potong tangan itu untukseperempat dinar atau lebih". Dengan demikian hukuman potong tangan bagi yang mencuri seperempat dinar atau lebih saja.
4. Menetapkan dan memperkuat hukum yang telah ditentukan oleh al-Qur'an. Misalnya al-Hajj : 30.
... واجتنبوا قول الزور
Artinya : "… Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta". QS. Al-Hajj : 30).
Kemudian Rosulullah SAW menguatkannya dalam sabdanya : "Perhatikan! Aku akan memberitahukan kepadamu sekalian sebesar-besarnya dosa besar! Sahut kami : "Baiklah hai Rasulullah". Beliau meneruskan sabdanya : "1. Musyrik kepada Allah SWT. 2. Menyakiti orang tua". Saat itu Rosulullah sedang bersandar, tiba-tiba duduk seraya bersabda lagi : "Awas berkata (bersaksi) palsu". (HR. Bukhori Muslim)
5. Menetapkan hukum dan aturan yang tidak didapati dalam al-Qur'an. Misalnya di dalam al-Qur'an tidak terdapat larangan untuk memadu seorang perempuan dengan bibinya, larangan terdapat dalam hadits yang berbunyi : "Tidak boleh seseorang memadu seorang perempuan dengan 'ammah (saudari bapak)nya dan seorang perempuan dengan khalah (saudara ibu)nya". (HR. Bukhori dan Muslim).
Selain yang tersebut diatas, fungsi hadis/sunah terhadap al-Qur’an adalah sebagai berikut:
a.       Membuat hukum baru yang tidak terdapat dalam Al-Qur'an. Dalam hal ini hukum-hukum atau aturan itu hanya berasaskan sunnah/hadits semata-mata. Contohnya larangan mengawini seorang wanita yang sepersusuan, karena ia dianggap muhrim senasab, dalam sabdanya:
إن الله حرم من الرضاعة ما حرم من النسب –متفق عليه-
“Sungguh Allah telah mengharamkan mengawini seseorang karena sepersusuan, sebagaimana halnya Allah telah mengharamkannya karena senasab”. (riwayat Bukhari-Muslim), serta hadits tentang kehalalan janin ikan yang ada dalam perut induknya yang disembelih dengan halal, dan seperti juga halalnya bangkai ikan laut.
b.      Mengubah ketetapan hukum dalam Al-Qur'an. Contohnya adalah ayat 180 Surat Al Baqoroh yang menjelaskan tentang kewajiban berwasiat. Kemudian diubah dengan hadits yang berbunyi: لا وصية لوارث. Menurut sebagian ulama ayat ini sudah dinasakh. Ada yang mengatakan bahwa ayat ini dinasakh dengan hadits yang tersebut di atas. Akan tetapi ada pula sebagian ulama yang berpendapat bahwa ayat ini masih tetap “muhkamah”, artinya masih tetap berlaku. Antara lain pendapat seorang mufassir yang terkenal bernama Abu Muslim Al-Asfahany.
Menurut ulama mutaqaddimin bahwa terjadinya naskh ini karena pembuat syariat menurunkan ayat tersebut tidak diberlakukan untuk selama-lamanya. Ketentuan yang terakhir menghapus ketentuan yang terdahulu karena yang terakhir dipandang lebih luas dan lebih cocok dengan nuansanya. Ini menurut ulama yang menganggap adanya fungsi bayan naskh. Kelompok ini adalah golongan Muktazilah, Hanafiyah, dan madzhab Ibn Hazm Al Dhahiri. Hanya saja muktazilah membatasi fungsi naskh ini hanya berlaku untuk hadits–hadits yang mutawatir. Sementara golongan hanafiyah tidak mensyaratkan hadits mutawatir bahkan hadits masyhur yang merupakan hadits ahad pun bias menasakh hukum sebagian ayat Al Qur’an. Bahkan Ibnu Hazm sejalan dengan adanya naskh kitab dengan sunnah meskipun dengan hadits ahad.
Sedangkan yang menolak naskh jenis ini adalah Imam Syafi’i dan sebagian besar pengikutnya, meskipun naskh tersebut dengan hadits yang mutawatir. Kelompok lain yang menolak adalah sebagian besar pengikut madzhab Dzahiriyah dan kelompok Khawarij. Menurut As-Syafi’i sunnah/hadis tidak dapat menaskh Al Qur’an. Hanya saja sunnah/hadis itu menjelaskan adanya naskh dalam Al-Qur’an, sebab naskh itu membutuhkan keterangan tentang dalil mana yang dahulu dan dalil mana yang datang kemudian. Sedangkan penjelasan dalam hal ini adalah dari Nabi sen

HADIS/SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM MENDAMPINGI al-Qur'an

Sebagaimana disampaikan di awal bahwa hadis/sunnah merupakan sumber hukum Islam. Dan para sahabat Rosulullah SAW telah melakukan ijma' dengan merujuk pada hadis/sunnah dan menempatkannya sebagai satu sumber hukum syariat yang mendampingi al-Qur'an. Diantaranya ialah para khulafa' rasyidin dan orang-orang yang datang setelah mereka, yang menyatakan dengan perkataan dan perbuatan.
Sebagai contoh as-Suyuthi menyatakan dalam kitab Ad-Duur al-Mansur bahwa Abdu bin Humaid Nasa'i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Baihaqi meriwayatkan bahwa Kholid Ibnu Usaid berkata kepada Abdullah Ibnu Umar : "Sesungguhnya kami menemukan shalat al-Hadhar bagi orang tidak bepergian dan shalat al-Khawf (shalat dalam keadaan waspada saat peperangan) di dalam al-Qur'an tetapi kami tidak menemukan shalat as-Safar (bagi orang yang bepergian)? Ibnu Umar berkata : "Wahai anak saudaraku sesungguhnya Allah mengutus Muhammad SAW kepada kita saat ita tidak mengetahui sesuatu. Dan sesungguhnya kita melakukan amalan sebagaimana kita melihat Rosulullah SAW melakukannya dan meng-qashar shalat dalam perjalanan sebagai satu sunnah yang ditetapkan oleh Rosulullah SAW.
Dalam sejarah fiqih Islam penggunaan hadis/sunnah sebagai sumber hukum fiqih selain al-Qur'an ulama fiqih terbagi menjadi dua kelompok. Pertama kelompok madzhab yang menetapkan hadis/sunnah sebagai dasar semua hukum fiqih dalam Islam, dan mengingkari penggunaan qiyas dan ta'lil. Diantara mereka adalah madzhab Dawud dan Ibnu Hazm azh-Zahiri.
Kedua adalah kelompok madzhab ra'yu yang dipelopori oleh madzhab Abu hanifah dan kawan-kawannya. Dimana kelompok ini dikenal lebih pada penggunaan akal dalam menetapkan hukum Islam, sehingga terkesan kelompok ini mengingkari adanya sunnah/hadis. Pada kenyataannya sesungguhnya madzhab Abu Hanifah (imam para ahli ra'yu) tidak pernah menolak sunnah dan para imamnya masih berargumentasi dengannya serta membangun hukum-hukum mereka berdasarkan sunnah. Kebanyakan pemecahan maslah-masalahnya juga didasarkan pada sunnah. Sebagaimana contoh buku yang ditulis oleh al-Marghinan dengan judul al-Hidayah. Yang kemudian diberi penjelasan (syarah) dalam kitab yang berjudul Fath al-Qodir yang ditulis oleh Kamaluddin bin al-Hammam, maka akan kita dapatkan kekayaan yang besar dalam hadits. Bahkan Ibnu Hajar telah mentahrij hadits-hadits yang terdapat kitab al-Hidayah dalam karangan beliau yang berjudul ad-Dirayah lil hadits fi al-Hidayah. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya kelompok ini juga menggunakan sunnah dalam penetapan hukum Islam.
Yusuf Qardhawi mengatakan terdapat anggapan beberapa penulis sekarang bahwa menurut Abu Hanifah hadits yang shahih hanya ada tujuhbelas saja. Hal ini didasarkan kepada pernyataan Ibnu Khaldun dalam buku Muqaddimah. Ibnu Khaldun menyatakan bahwa menurut Abu Hanifah hanya ada sekiat 17 – 50 hadits saja yang shahih. Tetapi kalau kita teliti maka pernyataan itu akan terbantahkan dengan sendiri oleh pernyataan Ibnu Khaldun dalam kitab yang sama tentang ketatnya persyaratan yang dimiliki oleh Abu Hanifah dalam memilih hadits. Abu Hanifah menerapkan syarat shahih sebuah hadits diantaranya hadits tidak boleh bertentangan dengan akal. Hal inilah yang menjadikan hadits shahih menurut Abu Hanifah sangat sedikit dan bukan pengingkaran atau kesengajaan beliau untuk mengingkari sunnah.
Oleh sebab itu pembahasan mengenai hadis/sunnah sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur'an di dalam semua buku ushul fiqih dalam semua madzhab diakui merupakan pembahasan yang luas dan berkepanjangan mencakup aspek kehujjahan, ketetapan, syarat-syarat penerimaan, dalalah, dan lain-lain yang tidak menjadi rahasia bagi orang yang mengkajinya.
Kalaupun terjadi penolakan imam fiqih dalam mengambil sebuah hadits sebagai dasar hukum Islam Yusuf Qardhawi menyebutkan ada tiga alasan pokok yaitu :
a. Mereka tidak yakin bahw Nabi SAW mengatakannya.
b. Ketidak yakinan tentang maksud yang difahami dari sabda Nabi SAW tersebut.
c. Mereka yakin bahwa hukum tersebut sudah dihapus.
3.      Kontroversi kehujjahan hadis/sunah sebagai sumber hukum Islam
Dalam penggunaan hadis/sunah sebagai sumber hukum Islam terdapat kelompok yang menolak hadis sebagai sumber hukum Islam. Mereka menyadarkan pemikiran mereka kepada keragu-raguan (syubhat) yang mereka sangka sebagai dalil. Argumentasi mereka berdasarkan pada dalil berikut ini :
a. Firman Allah SWT
وما من دآبة فى الأ رض ولا طير يطير بجناحيه إلا أمم أمثالكم ما فرطنا فى الكتاب من شيئ ثم إلى ربهم يخشرون
Artinya : "Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah kami alpakan sesuatu dalam al-Kitab (al-Qur'an), dan kepada tuhanlah mereka dihimpun". (QS. al-An'am : 38)
.... ونزلنا عليك الكتاب تبيانا لكل شيئ وهدى ورحمة وبشرى للمسلمين
Artinya : "… Dan kami Turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar genbira bagi orang-orang yang berserah diri". (QS. an-Nahl : 89).
b. Sesungguhnya Allah menjaga al-Qur'an dan tidak menjaga Sunnah. Hal ini mereka dasarkan kepada firman Allah dalam surah Al-Hijr : 9
إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون
Artinya : "Sesungguhnya kamilah yang menurukan al-Qur'an, dan sesungguhnya kami memeliharanya". (QS. Al-Hijr : 9)
Jadi tidak terdapat garansi tentang kebenaran dan kemurnian hadits (sunnah).
c. Terdapatnya perintah Nabi SAW kepada beberapa orang sahabat untuk menulis al-Qur'an yang dikenal dengan para penulis wahyu sedangkan Nabi SAW melarang penulisan hadits dengan menyatakan janganlah kamu menulis sesuatu selain al-Qur'an.
d. Kemungkinan pemalsuan dalam hadits yang begitu besar bahkan terdapat hadits yang dhoif dan tidak dapat dijadikan landasan penetapan hukum dan argumentasi, serta sulit membedakan antara hadits yang shohih dan dhoif
e. Meski ulama hadits telah menyeleksi sunnah dari hadits-hadits maudhui tetapi belum menyeluruh pada sanad hadits dan matannya. Seleksi baru dilakukan pada bagian luarnya saja sehingga banyak hadits yang bertentangan dengan akal pikiran.
f. Sesungguhnya sunnah mencakup apa yang dikatakan oleh Nabi SAW sebagai manusia biasa dan perbuatan duniawinya atau sebagai pemimpin atau qadhi, maka bagaimana mungkin hal ini dijadikan satu ajaran agama secara umum untuk umatnya hingga hari kiamat kelak.
Keraguan terhadap kehujjahan hadis ditanggapi oleh ulama hadits dengan mengutarakan beberapa argumentasi diantaranya :
a. Al-Qur'an menjelaskan kaidah-kaidah sedangkan hadis merinci hukum-hukumnya. Bahwa dalam ayat al-Qur'an surah an-Nahl : 89 bahwa al-Qur'an menjelaskan segala sesuatu, tetapi perlu digaris bawahi bahwa hal tersebut masih umum (mujmal) jadi membutuhkan perincian yang lebih jelas.
b. Pemeliharaan Allah terhadap al-Qur'an mencakup pemeliharaan sunnah. Hal ini didasarkan pada keberadaan sunnah sebagai perincian dari ayat al-Qur'an maka secara otomatis pemeliharaan mencakup pemeliharaan keduanya.
c. Periode penulisan hadis. Memang Nabi SAW melarang penulisan hadis pada masa beliau karena kemampuan baca tulis masyarakat muslim tatkala itu sangat lemah sehingga dikhawatirkan salah. Tetapi Nabi SAW juga telah memberikan perintah kepada beberapa sahabat tertentu untuk menulis hadits dan menyampaikannya dengan hati-hati agar tidak bercampur dengan al-Qur'an, diantara sahabat yang diizinkan menulis hadits ialah Abdullah bin 'Amr.
d. Kontribusi para ulama dalam melayani hadis/sunnah dan pemurniannya. Banyak hal dilakukan oleh ulama sunnah dalam melawan pendusta hadits dengan berbagai argumentasi serta menetapkan berbagai persyaratan dan criteria bagi hadits dari berbagai aspek yang dikemudian hari hal ini dijadikan sebuah ilmu yaitu ilmu mustholhul hadits yang mencakup sembilan puluh disiplin ilmu dalam hadits.

KEDUDUKAN HADIS TERHADAP AL -QUR'AN

1.      Hadis sebagai penafsir ayat al-Qur'an
Hadis memiliki berbagai peranan yang penting terhadap al-Qur'an. Diantaranya hadis memberikan  penafsiran terhadap ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur'an jika memang tidak terdapat penjelasan yang lebih detail dalam al-Qur'an tentang sebuah ayat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam pengantar buku Usul at-Tafsir berkata :
"Sesungguhnya cara menafsiri al-Qur'an yang paling tepat ialah menafsirkan al-Qur'an dengan al-Qur'an. Sesuatu yang disebutkan secara umum pada satu tempat dirinci pada tempat yang lain, dan sesuatu yang disebutkan secara singkat pada satu tempat disebutkan secara panjang lebar pada tempat yang lain.
Apabila tidak mendapatkan penafsirannya dalam al-Qur'an maka tafsirkanlah dengan hadis Nabi SAW karena sesungguhnya dia memberikan penjelasan terhadap al-Qur'an. Bahkan Imam Syafi'i mengatakan bahwa setiap hukum yang ditetapkan oleh Rosulullah SAW merupakan pemahaman yang berasal dari al-Qur'an. Allah berfirman
إنا أنزلنا إليك الكتاب بالحق لتحكم بين الناس بما أرك الله ولا تكن للخآئنين خصيما
Artinya : "Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili diantara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang-orang khianat". (QS. an-Nisa' : 105)
Dan firman Allah :
وما أنزلنا عليك الكتاب إلا لتبين لهم الذى اختلفوا فيه وهدى ورحمة لقوم يؤمنون
Artinya : "Dan kami tidak menurunkan al-Kitab (al-Qur'an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman". (QS. an-Nahl : 64).